Wedhung merupakan senjata tajam alat tebas seperti pisau lebar. Kata “Wedhung” menurut kamus Bahasa Jawa “Bausastra” (S. Prawiroatmodjo; 1957, Penerbit Gunung Agung) artinya senjata seperti pisau raut berukuran besar dan bersarung, termasuk sebagai atribut pakaian kebesaran pegawai istana.

Pada akhir-akhir ini banyak ditemukan artefak senjata serupa Wedhung yang disebut sebagai Khanjar di Sungai Brantas, diperkirakan merupakan peninggalan kerajaan Singhasari (abad 12 Masehi) maupun era yang lebih tua yaitu Kabudhan (abad 10 Masehi).

Khanjar bahkan diduga merupakan prototype/bentuk awal keris karena telah memenuhi kriteria unsur Trinitas yaitu Wilah-Gonjo-Pesi sebagai senjata tikam pendek.

Berbeda dengan Wedhung, senjata Khanjar memiliki gonjo seperti halnya keris dan pesinya terletak di tengah wilah.

Bukti keberadaan Wedhung sejak lama juga terpampang pada relief candi Penataran (abad 13-14 M) dimana terukir senjata Wedhung. Sedangkan senjata Khanjar tampak pada genggaman arca Siwa Bhairawa yang ditemukan di Malang, yang saat ini menjadi koleksi Rijksmuseum voor Volkenkunde Leiden di Belanda.
Menjelang masa akhir kerajaan Majapahit, dan dimulainya era Kerajaan Demak Bintoro, kekacauan dan ketegangan politik menghantui rakyat sipil, menyebabkan senjata Wedhung yang lebih fungsional mulai banyak diproduksi daripada Keris yang lebih bersifat “senjata psikis”.

Pembuatan keris jaman Demak diperkirakan tetap berlangsung namun dalam skala kecil sekali dan tidak diprakarsai oleh Raja. Hal ini jugalah yang menjadi penyebab kenapa Keris tangguh Demak termasuk sulit ditemui hingga saat ini.
Indikasi bahwa Wedhung berkembang di pesisir pantai utara Jawa (pusat Kerajaan Demak Bintoro) adalah aksesori warangkanya yang indah dengan tangkai dari bahan Penyu. Pada jaman berikutnya bahan Penyu diganti dengan bahan tanduk kerbau. Rakyat Kerajaan Demak Bintoro maupun pengikut Sunan Giri, jika terjadi perlawanan fisik melawan prajurit Kerajaan Majapahit, mereka bersenjata pedang dan menyelipkan Wedhung (bukan Keris) pada ikat pinggangnya sebagai identitas prajurit elit daerah pesisiran.
Lambat laun Wedhung mulai digarap Empu dengan teknik pelipatan besi dan lapisan dari bahan meteor yang disebut pamor, seperti halnya pembuatan Keris. Jenis pamor yang sering ditemukan adalah pamor Wos Wutah dan Wiji Timun. Wedhung berpamor Wiji Timun konon hanya boleh dimiliki pejabat kerajaan Demak Bintoro. Wedhung buatan Empu disertai ricikan dan gusen yang indah. Kebutuhan seni, mengubah Wedhung yang sebelumnya berbentuk sederhana dan berfungsi sebagai senjata tebas (karena situasi kacau saat itu) mulai bertransformasi menjadi benda seni yang diagungkan seperti halnya budaya Keris.

Wedhung berkembang menjadi status simbol dalam Keraton, ditandai dengan terciptanya Wedhung kecil dengan ukuran kurang dari 25 cm yang disebut Pasikon. Wedhung kecil Pasikon ini menggeser fungsi senjata tebas menjadi senjata psikis seperti halnya sebilah Keris. Pasikon pada waktu itu hanya boleh oleh Raja maupun petinggi kerajaan. Maka tidak heran setelah era kerajaan Demak Bintoro, raja-raja Jawa melengkapi busananya dengan Pasikon yang mudah dibawa.
Dalam bukunya The History of Java, Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jendral Inggris yang berkuasa pada 1811-1816, menyebut, bahwa seseorang yang akan menghadap Pangeran, apapun pangkat dan gelarnya, harus mengenakan celana dari sutera atau kain halus tanpa kancing dan sebagai pengganti kain atau jarit, dia harus memakai dodot, yaitu kain lebar yang ……..Dia hanya membawa satu keris yang ditempatkan di punggung kanan belakang, dimana pada sisi kirinya membawa WEDHUNG….Dia mengenakan kuluk yang mulai diperkenalkan oleh Sultan Pajang.

Pada jaman Mataram, wedhung dihiasi pamor yang variatif. Perkembangan seni pada wedhung terlihat adanya penambahan kaligrafi Islam di bilahnya dengan teknik menempelkan tatahan rumit terbuat dari emas.
Budaya Wedhung mengalami puncaknya pada jaman keraton Surakarta/Sinuhun Paku Buwana. Wedhung banyak dibuat dan dihadiahkan kepada petinggi-petinggi istana dalam wilayah kekuasaannya.
Bahkan pada jaman Sinuhun Paku Buwana X (abad 18 M), Wedhung sempat dipakai sebagai bahan ujian untuk para empu yang akan diresmikan oleh raja menjadi empu andalan keraton sebagai simbol janji kesetiaannya. Pada masa itu empu mas Ngabei Japan juga membuat wedung yang indah (sumber: The World of The Javanese Keris; Garreftandronwen Solyom).
Wedhung menjadi bagian dari budaya keris yang penting karena oleh raja Paku Buwana X, wedhung dianggap sebagai karya agung yang spesifik, antara lain di dalam buku Koninklijke Geschenken Uit Indonesie, oleh Rita Wassing-Visser; disebutkan:
“Wedhung, senjata yang disandang di pinggang kiri depan oleh putra raja dan petinggi istana. Bentuk pegangannya bersegi lima, warangka dari kayu berwarna lebih muda dengan 4 lingkaran (ring) terbuat dari emas, dihiasi ornamen sumping (palmet dari emas) dengan initial PB X. Di sisi belakang ada penjepit panjang berbentuk tangkai seperti sendok sepatu dari tanduk kerbau. Wedhung pernah dihadiahkan kepada rafu Wilhelmina oleh Sri Susuhunan Paku Buwana X, saaf penobatannya pada tahun 1898…”.

Wedhung biasa (untuk rakyat) juga dipakai oleh para abdi dalem dalam upacara resmi, sebagai ungkapan pengabdian kepada istana. Bahkan disakralkan menjadi simbol pengabdian manusia kepada Tuhan Yang Kuasa.