Pusaka dalam kamus Bahasa Indonesia berarti sesuatu yang berharga dan memberi manfaat, dimana manfaat itu hanya diperoleh bagi yang mengetahui makna atau pesan yang tersirat dalam wujud keris tersebut. Termasuk Keris bagi masyarakat Jawa, sudah menjadi benda yang disebut sebagai pusaka turun temurun. Di daerah lain, Tilam Upih biasa juga disebut Tilam Pethak atau Tilam Putih.

Menariknya, keris yang sering dijadikan pusaka keluarga turun temurun di masyarakat Jawa hanya berdhapur sederhana yaitu Tilam Upih. Bagaimana tidak sederhana? Karena Tilam Upih adalah keris lurus dengan hanya mempunyai ricikan Gandik lugas/polos, Tikel alis, dan pejetan. Tanpa ada ricikan lain. Dengan rancang bangun yang sederhana ini, justru seringkali Tilam Upih menjadi media ekspresi Empu untuk membuat pamor rekan karena pamor dapat ditonjolkan dengan leluasa tanpa terganggu bentuk dhapur. Pamor rekan disini sebagai contoh Tri Warno, Ron Genduru, Blarak Sineret, atau Wengkon.

Walaupun cukup sederhana, sebagai pusaka dhapur ini memuat makna filosofis. Tilam Upih dapat diartikan tidur pada alas (semacam tikar yang terbuat dari anyaman daun kelapa). Dasar filosofi keris Tilam Upih adalah tidur pada sebuah landasan, memberi makna kepasrahan diri, penyerahan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kepasrahan total yang sempurna dimana seseorang seolah kembali kepada Tuhan. Tidur dalam konteks “Ilmu Jawa” juga merupakan lambang ketentraman dalam kehidupan secara lahir dan batin. Tidur bisa dikatakan sebagai suatu kematian sementara. Dalam tidur tidak ada angan-angan, tidak ada kesadaran dan merupakan kondisi kepasrahan total.

Upih merupakan simbol pohon kelapa yang sangat tahan terhadap hama penyakit. Semua bagian pohon kelapa bermanfaat dan dapat digunakan untuk kebutuhan manusia, tidak ada yang terbuang sia-sia. Bahkan orang Indonesia tidak bisa lepas dari kelapa untuk menu masakan sehari-hari. Hal tersebut juga menggambarkan bahwa manusia harus senantiasa dapat bermanfaat bagi keluarga, lingkungan sekitar dan bangsanya. Sebilah keris berdhapur Tilam Upih yang sangat sederhana, ternyata sarat dengan pesan terhadap kehidupan manusia secara mendalam
Kesederhanaan yang tercermin dalam Keris dhapur Tilam Upih ternyata juga tercermin dalam Pusaka Karaton, dimana berdasarkan informasi yang saya terima, seringkali Pusaka Karaton juga berpenampilan sederhana. Misalnya yang bergelar Kanjeng Kyai Ageng jarang berkinatah kamarogan karena pertimbangan keampuhannya. Jika ditemui dengan gebyar kinatah emas biasanya keris tersebut bergelar Kyai sebagai pendherek (pendamping), atau keris milik Saudagar maupun Bangsawan.
Keris di Karaton yang bergelar Kanjeng Kyai apalagi yang bergelar Kanjeng Kyai Ageng dipastikan ampuh. Selain dibuat oleh Empu yang terkenal, kerisnya juga wingit/angker karena selalu “disingit”. Disingit adalah Bahasa Jawa yang artinya kurang lebih “saya dadi wingit”atau benda yang di aji-mantera agar semakin menjadi wingit/angker. Dalam tradisinya, ritual jamasan Pusaka di Karaton Surakarta dilaksanakan pula Sidhikara (dimanterai) pada hari-hari tertentu oleh Sinuhun dalam rangka perawatan Pusaka-Pusaka Karaton Surakarta.

Pusaka pendherek (pendamping) umumnya dipersiapkan sebagai pelengkap upacara, umumnya diletakkan di samping Pusaka utama/andalan. Biasanya dengan gebyar kinatah emas dan perabotan istimewa sebagai pelengkap busana. Hal ini disengaja agar menghindari rampasan atau sitaan dari Penjajah yang diambil bukan kelas/grade Kanjeng Kyai Ageng yang sengaja berpenampilan sederhana.