Keris Langka Dhapur Gumbeng Tangguh Jenggala

Menjelang berakhirnya ibadah puasa di bulan Ramadhan 1444 Hijriyah (tahun 2023 Masehi), saya ingin membabar salah satu keris koleksi pribadi saya sendiri berdhapur Gumbeng dengan tangguh Jenggala.

Keris Langka: Gumbeng tangguh Jenggala

Gumbeng merupakan nama dhapur keris yang mirip dengan dhapur Kebo Lajer namun wilahnya lebih lebar dan ukuran gandhiknya lebih panjang kira-kira berukuran satu setengah kali ukuran gandhik normal. Dhapur Gumbeng tergolong langka, jarang ada dhapur Gumbeng buatan baru. Biasanya merupakan tangguh tua yaitu Pajajaran atau Tuban.

Merupakan keris langka

Sebagaimana pengambilan nama dhapur keris atau pamor keris lain yang terinspirasi dari alam sekitar maupun kehidupan sehari-hari (misalnya nama dhapur keris Jalak, Kebo/Mahesa, pamor Wos Wutah, Ngulit Semongko dll).

Alat musik Gumbeng (source: google.com)

Sebenarnya istilah Gumbeng juga terkait dengan alat musik tradisional yang juga sudah langka keberadaannya, atau minimal sudah jarang dimainkan walaupun di pedesaan sekalipun.

Ciri khas besi tangguh Jenggala: hitam licin seperti aspal

Instrumen Gumbeng terdiri dari seperangkat Angklung yang terbuat dari bambu Wulung, memiliki tangga nada pentatonik yaitu terdiri 5 (lima) nada pokok. Instrumen ini terdiri 15 (lima belas) angklung yang digantungkan di ongkek (tempat penyangga) dan cara memainkannya digoyangkan atau dikocok. Sungguh alat musik yang sederhana karena bahan bakunya juga dibuat dari alam sekitar.

Alat musik Gumbeng: Angklung besar, tengah dan kecil (source: google.com)

Biasanya kesenian Gumbeng ini dilaksanakan pada waktu ritual bersih desa maupun saat akan melakukan panen agar hasilnya baik. Inti dari kesenian Gumbeng ini, manusia diharapkan dapat menjalani kehidupan dengan sederhana, ulet, penuh kearifan baik dalam konteks vertikal (Ketuhanan) maupun horizontal (alam sekitar dan manusia) dalam rangka mencapai kemakmuran masyarakat.

Kesenian Gumbeng biasa tampil saat acara bersih desa dan menjelang panen (source: google.com)

Tidak berbeda dengan alat musik  Gumbeng, ternyata Keris berdhapur Gumbeng juga memiliki bentuk dan ricikan yang sederhana, lugu, dan memiliki muatan sakral dan magis, serta memiliki kaitan dengan keselarasan manusia dengan alam sekitarnya. Filosofi sikap/pola hidup sederhana/lugu ini menurut saya sangat relevan dengan fenomena saat ini dimana banyak orang suka pamer kemewahan dan kekayaan secara mencolok atau biasa disebut flexing.  Filosofi hidup sederhana ini dalam kehidupan sehari-hari tentunya dalam bentuk menerima semua bentuk pemberian dari Tuhan Yang Maha Kuasa dengan penuh rasa syukur, ikhlas dan tawakal, serta tidak lupa apabila mendapatkan kelebihan harta juga selalu digunakan untuk beramal.

Dalam budaya keris, Gumbeng bermakna “tingkat kesadaran tertentu pada saat bersemedi”. Salah satu “semedi” dalam ajaran dan bentuk lain adalah PUASA. Puasa atau Poso (dalam bahasa Jawa), merupakan bentuk penyerapan dari dua kata bahasa Sansekerta yaitu “upa” (dekat) dan “wasa” (berkuasa). Jadi “upawasa” biasa dilafalkan sebagai Poso atau Puasa, yaitu merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bahasa Arabnya adalah “shaum” atau “shiam”. Dalam bahasa Inggris disebut “Fasting”.

Keris Gumbeng ini ditangguh Jenggala (sekitar tahun 1041-1130 Masehi), terlihat dari besinya yang cenderung hitam licin seperti aspal dengan gonjo tinggi/tebal khas tangguh Jenggala.

Bahkan keris ini juga tergolong utuh untuk ukuran keris abad X-XI karena keris rawatan, bukan keris temuan. Secara personal, keris ini merupakan keris Tindih bagi koleksi saya yang lain. Keris Tindih merupakan sebuah keris atau benda pusaka yang lain, dimana selain memberikan tuah juga untuk meredam gangguan atau pengaruh negatif dari benda gaib/pusaka lain. Seperti filosofi Jawa, dimana yang muda selalu memberi hormat kepada yang lebih tua. Secara alami, keris-keris yang lebih muda umurnya akan menghormati keris-keris yang lebih tua umurnya. Itulah tata krama dalam dunia gaib perkerisan.    Melihat estimasi pembuatan keris ini berasal dari Abad X-XI, sejaman Kerajaan Jenggala, diyakini dapat dijadikan keris pusaka Tindih.

Akhir kata, selamat menjalankan ibadah puasa semoga kita kembali menjadi fitri di akhir bulan Ramadhan.   

Ricikan Warangka Keris Berdasarkan Serat Centhini

Sebenarnya istilah Keris itu mengacu pada wilah Keris dan perabotnya. Jadi kalau kita menyebut Keris itu maka yang dimaksud adalah wilah Keris lengkap dengan Ukiran, Mendhak, Warangka dan Pendhok. Seperti yang diungkapkan salah satu sesepuh Perkerisan di Surakarta:

“Menawi tiyang Jawi mastani Keris, Dhuwung, Wangkingan, punika ingkang dipun kajengaken: Dhuwung ingkang sampun mrabot, dados jangkep menggah prabotipun, dados sampun mawi Jejeran (Ukiran), Sarungan (Warangka), saha Kandhelan (pendhok)”   

Terjemahannya:

Jika orang Jawa menyebut Keris maka yang dimaksud adalah Keris yang sudah memakai perabot, jadi lengkap perabotannya yakni telah menggunakan hulu, bersarung dan memakai Pendhok.

Di dalam serat Centhini dimana menjadi semacam Ensiklopedia Jawa paling lengkap yang pertama kalinya ditulis oleh bangsa kita, ternyata juga dibahas lambang dan makna dari bagian/ricikan Warangka Keris dan perabotan Keris lainnya.  Khususnya yang terdapat pada warangka keris Jawa gaya Surakarta, yakni sebagai berikut:

Kayu

Pakaian/busana Keris yang pertama adalah Warangka. Bahan terbuat dari kayu, yang sebenarnya berasal dari bahasa Arab yaitu hayun. Kayu berasal dari bagian pohon yang bahasa Arabnya Sajarah. Kata hayun merupakan bagian dari Sajaratul Yaqin (pohon keyakinan). Yakni keyakinan bahwa kita hidup, tidak mati. 

Godhong

Yang disebut godhong adalah jiwamu dua, dua dalam satu yaitu perlambang Tuhan dan hamba-Nya. Harus dapat satu niat.

Godhong melambangkan manunggaling Kawula Gusti. Dua dalam satu, satu tapi dua. Antara Tuhan dan hamba-Nya, harus satu niat, satu tujuan, dan satu kehendak.

Ricikan Godhong, Angkup dan Latha

Angkup

Yang disebut Angkup artinya harus mantap tunduk menyadari sebagai hamba, berdiam diri kepada Tuhan.

Angkup melambangkan sikap tuwajuh, yang berasal dari kata Arab tawajuh (artinya mantap dalam keyakinan), mantap menghadap Tuhan. Mantap dalam hal ini tidak lagi mencari sesembahan selain Tuhan Yang Maha Esa.

Tuwakup berasal dari bahasa Arab, Tawaqqaf. Yakni berdiam diri dalam keyakinan, pasrah dalam keyakinan penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Latha

Adalah kotoran dari rambut tipis di kening. Kotoran tersebut hendaknya dibersihkan yang utamanya dilakukan saat menjadi pengantin. Yang biasa disebut dilatha, yang berarti wajah pengantin yang dihiasi. Hal ini bermakna, bahwa manusia harus dihiasi dengan tindakan yang menyenangkan jika ingin memperoleh kebahagiaan di dunia maupun di akhirat kelak.

Ri Cangkring

Artinya pundak manusia, dimana semua manusia harus mampu memikul tanggumh jawab yang telah diberikan oleh Tuhan kepadanya, yakni sebagai pemimpin di dunia ini. Minimal sebagai pemimpin terhadap dirinya sendiri.

Ricikan Ri Cangkring, Gandar dan Pendhok

Gandar

Yang disebut Gandar adalah perawakan manusia, ketentuan Tuhan dan sesamanya. Maksudnya melambangkan perawakan dan ketentuan Tuhan yang berada dalam postur tubuh kita, atau sudah sesuai kodrat Tuhan.

Pendhok

Artinya tempat tata kramanya. Maknanya badan manusia sebagai tempat tata kramanya.

Kandelan

Kandelan merupakan bahasa Jawa halus atau kromo inggil, yang artinya juga Pendhok. Kandelan berasal dari kata ngandel, yang artinya percaya. Juga dapat diartikan kumandel, yang artinya mengandalkan.

Ricikan Kandelan, nampak membungkus Gandar yang ditutup kulit penyu

Makna dari kandelan ini adalah orang yang percaya kepada Tuhan, pasti mengandalkan Tuhan dalam segala urusannya.

Kathekan

Maknanya menantikan datangnya Tauhid.

Ricikan Kathekan, merupakan ujung/pangkal dari Pendhok

Mendhak

Artinya meluluhkan atau menundukkan keinginan hati dengan cara merendah.

Ricikan Ukiran (dengan cecekan tembus krawangan) dan Mendhak

Ukiran

Merupakan tanda kekuatan Tuhan Yang Maha Tinggi, yang dapat meninggikan segalanya namun juga dapat merendahkan segalanya. Yang akan diangkat-Nya akan mulia, namun yang dihancurkan tidak akan bisa lari menghindar.

Jenis Warangka Keris

Warangka adalah semacam pelindung, sarung atau pengaman untuk menyimpan bilah/wilah keris, tombak, pedang atau senjata lainnya. Sebutan warangka keris biasanya dipakai di Pulau Jawa, Madura dan beberapa wilayah lain di Indonesia.

Secara umum, warangka keris terbuat dari kayu, namun juga ada yang terbuat dari gading gajah, fiberglass, tanduk, atau taring ikan duyung/dugong. Biasanya warangka keris dibuat indah, dan bahkan juga dapat menunjukkan status sosial pemiliknya, karena bisa jadi beberapa bagian warangka keris tersebut terbuat dari bahan pilihan yang indah dan istimewa atau sudah langka.  Sebagai contoh di kalangan bangsawan atau orang berada, warangka keris biasanya dihias lagi dengan lapisan emas atau perak di bagian pendok, batu permata atau berlian dan lapisan emas di bagian mendak atau selut.  

Warangka dan perabot keris yang lain hampir sama pentingnya dengan wilah/bilah keris itu sendiri. Keris ligan/bilah keris telanjang tanpa warangka, tidak dapat disebut sebagai keris dalam pengertian yang utuh. Sebaliknya, warangka saja tanpa bilah/wilah bukanlah keris.

Di daerah Surakarta maupun Yogyakarta, terdapat 4 (empat) macam bentuk warangka yang pokok yaitu:

  1. Warangka Sandhang Walikat
  2. Warangka Wulan Tumanggal
  3. Warangka Gayaman
  4. Warangka Ladrang/Branggah

Dari keempat bentuk warangka tersebut di atas, warangka Sandhang Walikat diperkirakan sebagai bentuk warangka yang paling tua. Setelah itu muncul warangka Wulan Tumanggal. Kemudian terjadi lagi  penyederhanaan bentuk menjadi warangka Gayaman. Sebaliknya, sebagai peningkatan bentuk warangka Wulan Tumanggal, dibuatlah warangka Ladrang atau Branggah yang lebih gagah dan tampan.

Sandang Walikat dari kayu Telasih, Sonokeling dan Cendana Jawa

Adapun penggunaannya juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yaitu apabila keris dibawa dalam perjalanan jauh biasanya memakai warangka Sandhang Walikat.

Warangka Wulan Tumanggal dari kayu Timoho

Apabila keris dipakai untuk kegiatan sehari-hari memakai  Warangka Gayaman. Namun apabila keris digunakan dalam upacara adat atau upacara Keraton maka memakai sandangan Warangka Ladrang atau Branggah.

Warangka Keris Gayaman Surakarta terbuat dari kayu Trembalo

Sehingga tidak heran 1 (satu) wilah/bilah keris dapat mempunyai warangka Sandhang Walikat, Gayaman maupun Ladrang/Branggah. Istilahnya ketiganyanya untuk diisi 1 (satu) wilah/bilah keris yang sama disebut “warangka wayuhan”.

Meskipun bentuk dasar warangka pada umumnya sama di berbagai daerah, namun dengan adanya berbagai pengaruh budaya setempat, hampir tiap daerah memiliki ciri khas warangka tersendiri. Kerajaan atau kekuasaan yang pernah ada di suatu daerah memberikan pengaruh terhadap perkembangan bentuk warangka di daerah tersebut. Itulah sebabnya di berbagai wilayah Indonesia banyak dikenal berbagai  gaya warangka misalnya gaya Surakarta, Yogyakarta, Jawa Timur, Madura, Bali, Bugis, Sumatera Barat, Palembang dan lain-lain.

Warangka Branggah Yogyakarta dari kayu Trembalo

Untuk diketahui, baik pakem Surakarta maupun Yogyakarta memiliki beberapa perbedaan gaya warangka baik gayaman maupun ladrang/branggah. Dan bukan hanya tentang gaya, namun peringkat pemilihan kayu bahan warangka ditinjau dari sudut teknis maupun estetika mulai paling yang utama hingga sedang mempunyai perbedaan di kedua daerah tersebut, walaupun keduanya merupakan penerus trah Mataram Islam.

Untuk pakem bahan kayu warangka gaya Surakarta adalah sebagai berikut:

  1. Cendana wangi/ Santalum album
  2. Timoho/ Kleinhovia hospital
  3. Trembalo/ Dysoxylum acutangulum
  4. Mentaos/ Drypetes ovalis
  5. Mindi/ Melia azedarach
Warangka Ladrang dan Gayaman Surakarta dari kayu Cendana Wangi

Kayu Mentaos dan Mindi hanya dipilih untuk warangka yang akan disungging, yaitu diberi gambar dan diberi cat dan prada emas. Kedua jenis kayu tersebut berbobot ringan, berserat halus, tidak terlalu keras dan mudah dibentuk. Warangka sunggingan lebih banyak ditemui di daerah Surakarta daripada Yogyakarta. Adapun motif dan pola hiasan sunggingan antara lain: alas-alasan, modang, taman sari dan poleng.

Warangka Ladrang dan Gayaman Surakarta dari kayu Timoho

Untuk pakem bahan kayu warangka gaya Yogyakarta adalah sebagai berikut:

  1. Timoho/ Kleinhovia hospital
  2. Trembalo/ Dysoxylum acutangulum
  3. Cendana wangi/ Santalum album
  4. Kemuning/ Murraya paniculata
Warangka Gayaman Yogyakarta dari kayu Timoho

Namun demikian, berdasarkan info valid sumber Keraton Yogyakarta, diketahui keris pusaka utama Kanjeng Kyai Ageng/KKA. Kopek, ternyata mempunyai warangka dari kayu Cendana wangi, bukan dari kayu Timoho. Apakah karena dulunya keris tersebut berasal dari pemberian Susuhunan Paku Buwono III raja Mataram Surakarta, pasca perjanjian Giyanti tahun 1755? Wallahu a’lam bishawab…

Warangka Gayaman Yogyakarta dari kayu Kemuning

Keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek disebut pusaka utama Keraton Yogyakarta, kerena begitu Sultan Hamengku Buwono yang baru bertahta, pusaka keris yang dikenakannya adalah Kanjeng Kyai Ageng Kopek.

Sampai di sini dulu pembahasan tentang warangka keris, SELAMAT HARI KERIS NASIONAL 25 NOVEMBER 2022, JAYALAH KERIS INDONESIA…..

Keris Pusaka Berdhapur Sederhana: Tilam Upih

Pusaka dalam kamus Bahasa Indonesia berarti sesuatu yang berharga dan memberi manfaat, dimana manfaat itu hanya diperoleh bagi yang mengetahui makna atau pesan yang tersirat dalam wujud keris tersebut.  Termasuk Keris bagi masyarakat Jawa, sudah menjadi benda yang disebut sebagai pusaka turun temurun. Di daerah lain, Tilam Upih biasa juga disebut Tilam Pethak atau Tilam Putih.

Keris Dhapur Tilam Upih Tangguh Majapahit koleksi saya

Menariknya, keris yang sering dijadikan pusaka keluarga turun temurun di masyarakat Jawa hanya berdhapur sederhana yaitu Tilam Upih. Bagaimana tidak sederhana? Karena Tilam Upih adalah keris lurus dengan hanya mempunyai ricikan Gandik lugas/polos, Tikel alis, dan pejetan. Tanpa ada ricikan lain. Dengan rancang bangun yang sederhana ini, justru seringkali Tilam Upih menjadi media ekspresi Empu untuk membuat pamor rekan karena pamor dapat ditonjolkan dengan leluasa tanpa terganggu bentuk dhapur. Pamor rekan disini sebagai contoh Tri Warno, Ron Genduru, Blarak Sineret, atau Wengkon.

Terdapat pamor tiban yaitu Pamor Nur di bagian sor-soran

Walaupun cukup sederhana, sebagai pusaka dhapur ini memuat makna filosofis. Tilam Upih dapat diartikan tidur pada alas (semacam tikar yang terbuat dari anyaman daun kelapa). Dasar filosofi keris Tilam Upih adalah tidur pada sebuah landasan, memberi makna kepasrahan diri, penyerahan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kepasrahan total yang sempurna dimana seseorang seolah kembali kepada Tuhan. Tidur dalam konteks “Ilmu Jawa” juga merupakan lambang ketentraman dalam kehidupan secara lahir dan batin. Tidur bisa dikatakan sebagai suatu kematian sementara. Dalam tidur tidak ada angan-angan, tidak ada kesadaran dan merupakan kondisi kepasrahan total.

Pasikutan Wingit khas Tangguh Majapahit

Upih merupakan simbol pohon kelapa yang sangat tahan terhadap hama penyakit. Semua bagian pohon kelapa bermanfaat dan dapat digunakan untuk kebutuhan manusia, tidak ada yang terbuang sia-sia. Bahkan orang Indonesia tidak bisa lepas dari kelapa untuk menu masakan sehari-hari. Hal tersebut juga menggambarkan bahwa manusia harus senantiasa dapat bermanfaat bagi keluarga, lingkungan sekitar dan bangsanya. Sebilah keris berdhapur Tilam Upih yang sangat sederhana, ternyata sarat dengan pesan terhadap kehidupan manusia secara mendalam

Kesederhanaan yang tercermin dalam Keris dhapur Tilam Upih ternyata juga tercermin dalam Pusaka Karaton, dimana berdasarkan informasi yang saya terima, seringkali Pusaka Karaton juga berpenampilan sederhana. Misalnya yang bergelar Kanjeng Kyai Ageng jarang berkinatah kamarogan karena pertimbangan keampuhannya. Jika ditemui dengan gebyar kinatah emas biasanya keris tersebut bergelar Kyai sebagai pendherek (pendamping), atau keris milik Saudagar maupun Bangsawan.

Keris di Karaton yang bergelar Kanjeng Kyai apalagi yang bergelar Kanjeng Kyai Ageng dipastikan ampuh. Selain dibuat oleh Empu yang terkenal, kerisnya juga wingit/angker karena selalu “disingit”. Disingit adalah Bahasa Jawa  yang artinya kurang lebih “saya dadi wingit”atau benda yang di aji-mantera agar semakin menjadi wingit/angker. Dalam tradisinya, ritual jamasan Pusaka di Karaton Surakarta dilaksanakan pula Sidhikara (dimanterai) pada hari-hari tertentu oleh Sinuhun dalam rangka perawatan Pusaka-Pusaka Karaton Surakarta.

Contoh Pusaka Keris Tilam Upih bergelar Kanjeng Kyai/Kanjeng Kyahi

Pusaka pendherek (pendamping) umumnya dipersiapkan sebagai pelengkap upacara, umumnya diletakkan di samping Pusaka utama/andalan. Biasanya dengan gebyar kinatah emas dan perabotan istimewa sebagai pelengkap busana. Hal ini disengaja agar menghindari rampasan atau sitaan dari Penjajah yang diambil bukan kelas/grade Kanjeng Kyai Ageng yang sengaja berpenampilan sederhana.  

Wedhung dan Khanjar

Wedhung merupakan senjata tajam alat tebas seperti pisau lebar. Kata “Wedhung” menurut kamus Bahasa Jawa “Bausastra” (S. Prawiroatmodjo; 1957, Penerbit Gunung Agung) artinya senjata seperti pisau raut berukuran besar dan bersarung, termasuk sebagai atribut pakaian kebesaran pegawai istana.

Wedhung/Pasikon koleksi Museum Karaton Surakarta

Pada akhir-akhir ini banyak ditemukan artefak senjata serupa Wedhung yang disebut sebagai Khanjar di Sungai Brantas, diperkirakan merupakan peninggalan kerajaan Singhasari (abad 12 Masehi) maupun era yang lebih tua yaitu Kabudhan (abad 10 Masehi).

Salah satu wedhung temuan sungai tangguh estimasi Singhasari

Khanjar bahkan diduga merupakan prototype/bentuk awal keris karena telah memenuhi kriteria unsur Trinitas yaitu Wilah-Gonjo-Pesi sebagai senjata tikam pendek.

Salah satu Khanjar temuan Sungai Brantas (sudah termahar)

Berbeda dengan Wedhung, senjata Khanjar memiliki gonjo seperti halnya keris dan pesinya terletak di tengah wilah.

Khanjar temuan Sungai Brantas

Bukti keberadaan Wedhung sejak lama juga terpampang pada relief candi Penataran (abad 13-14 M) dimana terukir senjata Wedhung. Sedangkan senjata Khanjar tampak pada genggaman arca Siwa Bhairawa yang ditemukan di Malang, yang saat ini menjadi koleksi Rijksmuseum voor Volkenkunde Leiden di Belanda.

Menjelang masa akhir kerajaan Majapahit, dan dimulainya era Kerajaan Demak Bintoro, kekacauan dan ketegangan politik menghantui rakyat sipil, menyebabkan senjata Wedhung yang lebih fungsional mulai banyak diproduksi daripada Keris yang lebih bersifat “senjata psikis”.

Penampakan Wedhung estimasi Tangguh Demak

Pembuatan keris jaman Demak diperkirakan tetap berlangsung namun dalam skala kecil sekali dan tidak diprakarsai oleh Raja. Hal ini jugalah yang menjadi penyebab kenapa Keris tangguh Demak termasuk sulit ditemui hingga saat ini.

Indikasi bahwa Wedhung berkembang di pesisir pantai utara Jawa (pusat Kerajaan Demak Bintoro) adalah aksesori warangkanya yang indah dengan tangkai dari bahan Penyu. Pada jaman berikutnya bahan Penyu diganti dengan bahan tanduk kerbau. Rakyat Kerajaan Demak Bintoro maupun pengikut Sunan Giri, jika terjadi perlawanan fisik melawan prajurit Kerajaan Majapahit, mereka bersenjata pedang dan menyelipkan Wedhung (bukan Keris) pada ikat pinggangnya sebagai identitas prajurit elit daerah pesisiran.

Lambat laun Wedhung mulai digarap Empu dengan teknik pelipatan besi dan lapisan dari bahan meteor yang disebut pamor, seperti halnya pembuatan Keris. Jenis pamor yang sering ditemukan adalah pamor Wos Wutah dan Wiji Timun. Wedhung berpamor Wiji Timun konon hanya boleh dimiliki pejabat kerajaan Demak Bintoro. Wedhung buatan Empu disertai ricikan dan gusen yang indah. Kebutuhan seni, mengubah Wedhung yang sebelumnya berbentuk sederhana dan berfungsi sebagai senjata tebas (karena situasi kacau saat itu) mulai bertransformasi menjadi benda seni yang diagungkan seperti halnya budaya Keris.

Pembuatan Wedhung berkualitas oleh Empu juga mengikuti kaidah condong leleh Keris

Wedhung berkembang menjadi status simbol dalam Keraton, ditandai dengan terciptanya Wedhung kecil dengan ukuran kurang dari 25 cm yang disebut Pasikon. Wedhung kecil Pasikon ini menggeser fungsi senjata tebas menjadi senjata psikis seperti halnya sebilah Keris. Pasikon pada waktu itu hanya boleh oleh Raja maupun petinggi kerajaan. Maka tidak heran setelah era kerajaan Demak Bintoro, raja-raja Jawa melengkapi busananya dengan Pasikon yang mudah dibawa.

Dalam bukunya The History of Java, Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jendral Inggris yang berkuasa pada 1811-1816, menyebut, bahwa seseorang yang akan menghadap Pangeran, apapun pangkat dan gelarnya, harus mengenakan celana dari sutera atau kain halus tanpa kancing dan sebagai pengganti kain atau jarit, dia harus memakai dodot, yaitu kain lebar yang ……..Dia hanya membawa satu keris yang ditempatkan di punggung kanan belakang, dimana pada sisi kirinya membawa WEDHUNG….Dia mengenakan kuluk yang mulai diperkenalkan oleh Sultan Pajang.

Wedhung temuan Sungai Brantas, nampak telah diberi sandangan

Pada jaman Mataram, wedhung dihiasi pamor yang variatif. Perkembangan seni pada wedhung terlihat adanya penambahan kaligrafi Islam di bilahnya dengan teknik menempelkan tatahan rumit terbuat dari emas.
Budaya Wedhung mengalami puncaknya pada jaman keraton Surakarta/Sinuhun Paku Buwana. Wedhung banyak dibuat dan dihadiahkan kepada petinggi-petinggi istana dalam wilayah kekuasaannya.


Bahkan pada jaman Sinuhun Paku Buwana X (abad 18 M), Wedhung sempat dipakai sebagai bahan ujian untuk para empu yang akan diresmikan oleh raja menjadi empu andalan keraton sebagai simbol janji kesetiaannya. Pada masa itu empu mas Ngabei Japan juga membuat wedung yang indah (sumber: The World of The Javanese Keris; Garreftandronwen Solyom).

Wedhung menjadi bagian dari budaya keris yang penting karena oleh raja Paku Buwana X, wedhung  dianggap sebagai karya agung yang spesifik, antara lain di dalam buku Koninklijke Geschenken Uit Indonesie, oleh Rita Wassing-Visser; disebutkan:

“Wedhung, senjata yang disandang di pinggang kiri depan oleh putra raja dan petinggi istana. Bentuk pegangannya bersegi lima, warangka dari kayu berwarna lebih muda dengan 4 lingkaran (ring) terbuat dari emas, dihiasi ornamen sumping (palmet dari emas) dengan initial PB X. Di sisi belakang ada penjepit panjang berbentuk tangkai seperti sendok sepatu dari tanduk kerbau. Wedhung pernah dihadiahkan kepada rafu Wilhelmina oleh Sri Susuhunan Paku Buwana X, saaf penobatannya pada tahun 1898…”.

Wedhung estimasi Tangguh Kartasura

Wedhung biasa (untuk rakyat) juga dipakai oleh para abdi dalem dalam upacara resmi, sebagai ungkapan pengabdian kepada istana. Bahkan disakralkan menjadi simbol pengabdian manusia kepada Tuhan Yang Kuasa.

Makna Ricikan Keris Menurut Serat Centhini

Sebagaimana kita ketahui bahwa serat Centhini menjadi semacam Ensiklopedia Jawa paling lengkap yang pertama kalinya ditulis oleh bangsa kita, karena serat Centhini banyak memuat ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh orang Jawa pada awal abad ke-19. 

Salah satu ilmu pengetahuan orang Jawa yang tercantum di serat Centhini adalah ilmu tentang Tosan Aji termasuk keris, bahkan satu-satunya naskah tertua yang lengkap dan otentik tentang ilmu pengetahuan tentang keris. Pada kesempatan ini saya akan menyampaikan makna ricikan Keris menurut Serat Centhini. Ricikan adalah bagian-bagian atau komponen keris, yang masing-masing mempunyai nama. Ricikan sebilah keris dapat dibandingkan dengan suku cadang atau komponen mobil. Di antara suku cadang mobil terdapat namanya piston, garden, dashboard, roda, jok, dan lain sebagainya. Demikian pula setiap bagian keris berlainan bentuknya dan berlainan pula namanya. Lengkap atau tidaknya ricikan ini, akan menentukan nama dhapur sebilah keris.

Seseorang tidak akan mampu mengetahui nama dhapur dan menangguh Keris, apabila tidak memahami soal ricikan Keris ini.

Langsung saja saya sampaikan makna dan arti ricikan Keris sebagaimana tercantum di Serat Centhini, tentunya disertai foto ricikan Keris yang saya koleksi sampai dengan tulisan ini dibuat sbb:

Ricikan Bawang Sebungkul dan Kruwingan

Bawang Sebungkul:

Mengiaskan kemaluan wanita/rahim, yakni tempatnya Betal Mukadas atau tempat penyucian.

Kruwingan:

Maksudnya agar sosok tubuh/badan kita senantiasa ditata, agar selalu pantas/patut atau serasi dan enak dipandang.

Ricikan Gandhik, Tikel Alis, Wadidang dan Tungkakan,

Gandhik:

Artinya titian jantung yang mampu menimbulkan lahirnya nafsu birahi manusia.

Tikel Alis:

Mengiaskan tiga nafsu hati agar suci dan selamat (rahayu) yakni sabar, rela dan maklum.

Wadidang dan Tungkakan:

Wadidang maksudnya kaki kita yang menguasai tubuh kita. Tungkakan, artinya kemauan manusia. Tidak boleh kalah dengan kemauan untuk menang sendiri/tidak boleh kalah dengan ego kita sendiri.

Ricikan Gonjo atau Ganja Keris

Ganja/Gonjo:

Hanya Allah SWT paling luhur, Kanjeng Rasul adalah Nabi penutup utusan Allah, Nabi pemimpin dunia serta kekasih Yang Maha Agung. Keduanya merupakan tanda keberadaan Gusti dan hambanya. Keduanya merupakan satu wujud, disebut satu namun sebenarnya dua, disebut dua nyatanya satu.

Ricikan Jalen dan Pamor Keris

Jalen:

Jalen artinya hidup kita jangan sampai terpukau, karena kita semua pasti akan kembali ke asalnya yaitu Tuhan.

Pamor:

Artinya di dalam otot kita memancar cahaya Nur Buwat, menandakan bahwa asal hidup kita benar-benar suci dan bening.

Ricikan Kembang Kacang dan Lambe Gajah

Kembang Kacang:

Maknanya Gunung Tursina yang mengetahui keluar masuknya nafas melalui hidung, merupakan  tanda adanya Kawula/Hamba dan Gusti/Allah.

Lambe Gajah:

Sebenarnya adalah mulut kita, merupakan tempatnya Insan Kamil, tempatnya pengucapan Hyang Agung menjadi kenyataan, yaitu sabda Kun Fayakun.

Ricikan Pejetan/Blumbangan dan Sraweyan

Pejetan:

Disebut juga blumbangan oleh para Sutresna Keris. Maknanya ibu jari kita yang mampu/kuat menyangga pekerjaan dalam mencari penghidupan.

Sraweyan:

Artinya musibah atau murka Allah.

Ricikan Pesi

Pesi: Artinya pusar, merupakan keadaan dalam hati kita yang sebenarnya.

Ricikan Sirah Cecak dan Kepet/Buntut Cecak

Sirah Cecak:

Adalah betal makmur atau kepala manusia. Artinya di situlah asal mulanya segala kesenangan dan  ingatan manusia.

Kepet/Buntut Cecak:

Kepet disebut juga Buntut Cecak artinya telapak tangan kita sebagai tali cambuk manusia.

Ricikan Sogokan Keris

Sogokan:

Artinya di dalam poros/sumbu tiang manusia mampu membuka tabir 9 (Sembilan) lubang hawa nafsu yaitu 2 (dua) mata, 2 (dua) lubang hidung, 2 (dua) lubang telinga, 1 (satu) mulut,  zakar dan rahim (kemaluan wanita).

Waja dan Wesi Keris

Waja dan Wesi:

Waja/Baja adalah tulang yang memperkuat tubuh kita. Wesi/Besi artinya daging kita selama hidup di dunia.

Makna dan Rahasia Dhapur Keris Menurut Serat Centhini

Serat Centhini mulai ditulis tanggal 11 Januari 1815 oleh Tim yang dibentuk oleh Raden Mas Sugandi yang menjadi Putera Mahkota Karaton Surakarta Hadiningrat yang bergelar Adipati Anom Mangkunegoro. Beliau akhirnya diangkat menjadi raja Karaton Surakarta Hadiningrat dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono V, yang hanya memerintah selama 3 (tiga) tahun yaitu mulai tahun 1820-1823. Pakubuwono V mempunyai julukan Sunan Sugih, yang artinya Raja yang kaya harta, juga pernah membuat keris dari pecahan meriam pusaka Kyai Guntur Geni, dimana meriam tersebut pecah saat Perang Geger Pacinan. Keris tersebut diberi nama Kanjeng Kyai Kaget.

Tim penulis dari serat Centhini yang diprakarsai oleh Putera Mahkota terdiri dari Kiai Ngabehi Ronggosutrasno, Kiai Yosodipuro II, dan Kiai Sastrodipuro. Dalam mengumpulkan data, anggotanya menjelajahi tanah Jawa mulai Jawa Barat/Anyer, Jawa Tengah, sampai dengan Banyuwangi/Jawa Timur. Karena serat Centhini banyak memuat ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh orang Jawa pada awal abad ke-19, maka tak heran serat Centhini menjadi semacam Ensiklopedia Jawa paling lengkap yang pertama kalinya ditulis oleh bangsa kita. 

Salah satu ilmu pengetahuan orang Jawa yang tercantum di serat Centhini adalah ilmu tentang Tosan Aji termasuk keris, bahkan satu-satunya naskah tertua yang lengkap dan otentik tentang ilmu pengetahuan tentang keris.

Pada tulisan kali ini saya coba menyampaikan beberapa makna, murad, dan rahasia dhapur keris yang tercantum di Serat Centhini, namun dengan keterbatasan yang saya miliki yaitu sesuai dengan dhapur keris yang saya miliki atau pernah saya miliki saja. Untuk memperjelas bahasa di Serat Centhini yaitu Bahasa Jawa,  yaitu sebagai berikut:

  1. Makna yaitu arti atau maksud.
  2. Murad yaitu keterangan arti.
  3. Rahsa yaitu rahasia.

Oke, langsung saja beberapa dhapur keris beserta makna, murad dan rahsa berdasarkan Serat Centhini adalah sebagai berikut:

Keris dhapur Tilam Upih

Maknanya kiasan, muradnya perempuan. Rahasianya dalam memikirkan keris hendaknya seperti memikirkan atau memperhatikan istri kita.

Keris Tilam Upih Tangguh Majapahit

Keris dhapur Brojol

Maknanya kemauan kita, muradnya yang sudah diucapkan. Rahasianya hendaknya sedikit berbicara. Sebelum berbicara hendaknya dipikir dahulu, apakah sesuai hati nurani kita dan jangan mudah mengeluarkan kata-kata yang tidak perlu.

Keris Brojol Tangguh Pajajaran

Keris dhapur Jalak Tilam Sari

Maknanya tutup, muradnya orang tidur. Rahasianya janganlah berpisah dengan senjata anda dalam kondisi bangun maupun tidur, baik siang maupun malam. Singkatnya kita harus waspada di dalam segala kondisi.

Keris Jalak Tilam Sari Tangguh Cirebon

Keris dhapur Jalak Dindhing

Maknanya hijab atau tirai, muradnya tiga hal. Rahasianya manusia harus sering menyebut Allah, Muhammad dan Rasulullah.

Keris Jalak Dindhing Tangguh Tuban Mataram

Keris dhapur Jalak Sangu Tumpeng

Maknanya tempat keyakinan, muradnya rejeki Allah. Rahasianya jangan khawatir tidak mendapatkan makan, Allah Maha Murah dan Maha Pengasih.

Keris Jalak Sangu Tumpeng Tangguh Majapahit

Keris dhapur Sengkelat

Maknanya hati yang menyala, muradnya perbuatan luhur. Rahasianya siang dan malam, dalam keadaan bangun/tidak tidur, maupun saat tidur, manusia harus bertindak atau bertingkah laku sesuai ukuran.

Keris Sengkelat Tangguh Mataram Senopaten

Keris dhapur Sabuk Inten

Maknanya permata yang indah, muradnya hati anda. Rahasianya kemuliaan seseorang itu harus disertai dengan perilaku yang penuh sopan santun serta cermat.

Keris Sabuk Inten Tangguh Mataram

Keris dhapur Sempono

Maknanya mimpi, muradnya paham ilmu pengetahuan. Rahasianya manusia harus mempunyai perkiraan bagaimana baiknya sebuah urusan, tanpa melupakan rasa waspada baik di waktu siang maupun malam.

Keris Sempono Tangguh Mataram

Keris dhapur Pandhawa Cinarita

Maknanya 5 (lima) wujud, muradnya ajaran orang tua. Rahasianya orang harus memahami bahwa heningnya panca indera itu asalnya dari sabar, menerima apa adanya, dan jauh dari angkara murka.

Keris Pandhawa Cinarita Tangguh Mataram Senopaten

Keris dhapur Condhong Campur

Maknanya tercampur atau bersatu, muradnya hati yang bijaksana. Rahasianya orang harus pabdai bergaul dengan orang lain, jangan mudah sakit hati, sabar dan terus berwajah manis.

Keris Condhong Campur Tanggh Mataram
Koleksi yang lain juga Keris Condhong Campur Tangguh Mataram

Keris dhapur Carubuk

Maknanya tanah, muradnya mau menerima dengan kuat sentosa. Rahasianya hendaknya jangan hanya mau menerima yang baik saja, namun juga harus mau menerima yang buruk dari seseorang.

Keris Carubuk Tanguh Majapahit

Menikmati Tosan Aji Bersama (Makaroni)

Pada jaman dahulu, bangsa agraris seperti Indonesia ini, masyarakatnya memeluk ajaran animisme dan dinamisme. Antropolog luar negeri mencatat hal tersebut sebagai sebuah substansi kepercayaan bangsa kita dahulu.

Konsepsi ajaran spiritual ini mulai menjadi agak sistematis ketika kerajaan Singhasari muncul pada abad 13, dan mulai menterjemahkan banyak serat para pujangga kerajaan Kediri/Kadiri yang terbit pada masa sebelumnya.  Maka terjadi pergeseran budaya spiritual yang sistematis itu, selaras dengan Tantrayana yang oleh pandangan Barat disederhanakan dengan aliran Syiwa-Budha. Seperti juga filosofi Pantheisme yang berkembang pada bobot yang tidak terlepas dari pengakuannya terhadap alam dan kehidupan manusia sebagai suatu kekuatan Tuhan. Hal ini sering disebut ajaran maguru alam (berguru pada alam).

Sebagai contoh, seorang Raja meminta Empu membuat senjata/tosan aji baik berupa Keris maupun Tombak sebagai senjata pamungkas Panglima Perangnya, agar dapat mengalahkan musuh yang dianggap sakti, maka Empu akan mencari inspirasi dari kejadian alam sekelilingnya serta berdoa memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk ditransformasikan ke dalam karyanya.

Ketika ada pelepah kelapa yang telah kering jatuh ke tanah, Empu yang kebetulan sedang dalam perenungan atau semedi bisa jadi langsung meyakini bahwa kejadian tersebut adalah isyarat dari Tuhan Yang Maha Esa. Maka dibuatlah pamor blarak sineret atau belarak wirit, yang berdasarkan Serat Centhini adalah serupa daun kelapa kering berada di pangkalnya (lihat foto)  

Foto Keris berpamor Blarak Sineret koleksi Penulis

Blarak artinya pelepah daun kelapa; sineret artinya berderet, diseret/ditarik karena tidak lancar (seret = tidak lancar). Bayangkan saja seorang Panglima yang sedang menyeret pelepah kelapa untuk dibawa kepada Sang Raja. Blarak atau pelepah kelapa yang diseret itu adalah manifestasi dari mayat musuh yang diseret untuk dipersembahkan kepada Sang Raja.

Konsep dasar maguru alam tersebut di atas sebagai misal “sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu” adalah filosofi atau kepercayaan yang memiliki benang merah di seluruh Indonesia/Nusantara. Seperti  di tanah Pasundan dikenal sebutan “papan kalebur kalawan tulis” sebagai ajaran Sunda Wiwitan. Di tanah Toba jaman dulu dikenal kepercayaan Parmalim, juga di tanah Kalimantan dikenal dengan Kaharingan.

Berpindah di jaman modern seperti sekarang, para Petani yang mayoritas hidup di pedesaan tentunya masih banyak memiliki aneka ragam Tosan Aji baik berupa Keris, Tombak maupun Pedang. Terbukti masih banyak yang ditemukan di pedesaan dimana para pedagang tosan aji menyebutnya “lokasian”.

Para Petani itu dengan dasar maguru alam, yaitu bercocok tanam sesuai musim dan jenis tanahnya, bersama angsar/tuah pusakanya dengan seiijin Tuhan Yang Maha Esa, dapat menghasilkan aneka ragam produk pertanian misalnya singkong, beras, jagung dan tanaman holtikultura yang berkualitas dan dalam jumlah melimpah.  

Keris Jalak Sangu Tumpeng di hadapan Ladang Jagung

Hasil panen yang melimpah tersebut kebanyakan masih dalam kondisi mentah, agar meningkatkan nilai tambah tentunya harus diolah misalnya dibuat dalam bentuk tepung agar lebih mudah lagi dibentuk menjadi bahan makanan setengah jadi maupun bahan makananan siap saji/santap.

Makaroni Basah siap saji/santap ala Street Food, dimasak dari Makaroni Delon Biru

Contoh singkong/ubi kayu yang di negara Indonesia menjadi salah satu bahan pokok makanan, mempunyai luas panen 1.003.269 hektar, dengan produksi 22.819.484 ton (Pusat Data Dan Sistem Informasi Pertanian Kementrian Pertanian tahun 2011-2016), dapat diolah menjadi tepung tapioka.

Tepung tapioka bersama tepung terigu, garam, dan bahan lainnya dapat dibentuk lagi menjadi snack seperti makaroni. Contoh merk terkenal makaroni adalah Delon  (bungkus biru) merupakan sebuah produk dari PT Srikandi (Solo, Jawa Tengah) yang telah lama dikenal mempunyai rasa dan kualitas sempurna.

Makaroni Delon Bungkus Biru yang Bantet

Kini dihadirkan bersama paket bumbu yang sangat cocok untuk digoreng (tidak sampai mekar/bantet), maupun dimasak sebagai makaroni basah, seperti layaknya masakan  Abang-Abang penjual Cilor Maklor ala Street Food.

Makaroni Delon Biru yang digoreng kriiuukk….

Cocok untuk dinikmati oleh segala usia sambil nongkrong, belajar, atau nonton film bahkan sambil MENIKMATI KEINDAHAN Keris, Tombak atau Tosan Aji lainnya….

Menikmati kesederhanaan Keris Mahesa Lajer, konon andalan para Petani
Menikmati keindahan Keris Mahesa Teki, konon andalan Tuan Tanah di masa lalu

Adapun Tutorial cara memasak Makaroni Delon Biru yang bantet, baik dimasak makaroni basah maupun makaroni goreng bisa dilihat di link video berikut:

Link Pembelian:

https://www.tokopedia.com/warungantikan/paket-makaroni-delon-biru-bantet-lengkap-dengan-bumbu

https://www.bukalapak.com/p/food/cemilan-snack/camilan-instant/4gwcnij-jual-paket-makaroni-delon-biru-bantet-lengkap-dengan-bumbu?from=product_owner&product_owner=normal_seller

https://shopee.co.id/Paket-Makaroni-Delon-Biru-Bantet-Lengkap-Dengan-Bumbu-i.583707236.12060310580?xptdk=20d8e423-fef7-4c52-a1a5-94fbcbac8582

Filosofi Metuk pada Tombak

Metuk adalah bagian sebilah Tombak yang bentuknya menyerupai cincin tebal dan besar. Letaknya tepat di bagian bawah sor-soran, melingkari bagian pesi yang menempel langsung pada bilah tombak sebelah bawah.

Ricikan Metuk Tombak Dhapur Ron Pring Tangguh Majapahit

Kegunaan praktis Metuk adalah untuk menahan bilah tombak agar bila mendapat benturan keras di ujungnya, bilah tombak tidak amblas masuk ke dalam tangkainya. Bagian Metuk ada yang merupakan logam terpisah dari bilah dan pesinya, namun ada pula yang merupakan satu-kesatuan dengan bilah dan pesi tersebut yang biasa disebut sebagai Metuk iras.

Metuk Iras Tombak Dhapur Sipat Kelor Tangguh Mataram

Walaupun Metuk yang kita kenal sekarang merupakan salah satu ricikan atau bagian dari tombak, pada keris-keris Tangguh Tua/Sangat Super Sepuh, Metuk juga merupakan salah satu ricikan. Kebetulan saya juga memiliki 2 bilah Keris temuan Sungai Brantas yang bertangguh Singhasari masih memiliki ricikan Metuk yaitu berdhapur Jangkung luk 3 (tiga) dan berdhapur Carang Soka luk 7.

Sisa Metuk pada Keris Temuan Sungai berdhapur Jangkung Luk 3
Sisa metuk pada Keris Temuan Sungai berdhapur Carangsoka Luk 7

Adapun filosofi ricikan Metuk yang saya peroleh dari rekan komunitas pecinta tosan aji, dapat saya sampaikan dengan beberapa sudut pandang yang tentunya semakin memperkaya khazanah budaya tosan aji di Nusantara yaitu sebagai berikut:

Dari sudut pandang Metuk sebagai bagian/ricikan pada tombak untuk senjata perang:

Bahwasanya Metuk berasal dari kata dasar Petuk (Bahasa Jawa yang artinya berjumpa atau bertemu).  Sedangkan Metuk lebih bersifat sebagai kata aktif yang artinya menjumpai atau menemui atau lebih tepatnya menjemput.  Ya…dengan tombak para Prajurit Jawa menjemput keharuman nama atau kematian mulia karena ajal paling indah dijemput dengan amal suci Perang Sabil. Metuk adalah perlambang dzikrul maut, sebab maut jikapun tak dijemput, ia yang akan menjemput. Di dalam Kitab Suci Al-Quran juga telah disebutkan: “Di mana saja kalian berada, kematian akan mendapati kalian, kendatipun kalian berada di benteng yang tinggi lagi kokoh” (Al Quran Surat An-Nisa ayat 78).

Dari sudut pandang Metuk sebagai bagian/ricikan pada tombak untuk pusaka mencari rejeki:

Bahwasanya Tombak juga dipakai sebagai piyandel/pusaka yang diharapkan menambah rejeki baik berupa harta maupun non harta (misal rejeki berupa kesehatan, ketentraman rumah tangga, keselamatan, kelancaran urusan duniawi dll). Dalam hal ini sebuah pertemuan harus menghasilkan sesuatu yang lebih baik, bisa jadi dengan menyambung tali silaturrahim, berkahnya adalah Panjang umur dan rizqi yang lapang. Sebagaimana Hadist (HR Bukhari dan Muslim): “Barangsiapa suka diluaskan rizqinya dan dipanjangkan usianya, maka hendaklah dia sambung  silaturrahim”

Tombak Pusaka Langka Sipat Kelor Tangguh Mataram

Sebagai bagian dari Tosan Aji, tombak memanglah tidak sepopuler keris. Namun harus diakui, tombak memiliki daya tarik dan kharismanya sendiri. Dengan wujud seperti banyak kita kenal, tombak memberikan kesan gagah, garang dan tangkas bagi seorang Kesatria, tatkala ia harus menghadapi musuh dari atas kuda perang misalnya. Sebagai bagian dari pusaka ampuh yang digunakan untuk menghadapi lawan di medan perang, tombak memang membutuhkan keahlian khusus untuk menggunakannya.

Tombak pusaka langka dhapur Sipat Kelor

Contoh Kesatria dengan kesaktian pusaka tombaknya kemudian berhasil melumpuhkan musuhnya antara lain Sutawijaya yang berhasil membunuh Arya Penangsang, Adipati Jipang dengan Tombak Kiai Plered. Tombak legendaris ini kemudian menjadi simbol berdirinya Kerajaan Pajang yang dipimpin Sultan Hadiwijaya.

Tombak dhapur langka Sipat Kelor dengan background tanaman Cincau Hitam (Mesona palustris BL)

Ada lagi tombak sakti Kiai Baru Klinthing, milik Ki Ageng Wanabaya, penguasa Mangir. Tombak yang dimitoskan berasal dari lidah Naga ini sangat ditakuti, bahkan juga membuat gentar seorang Raja sekelas Panembahan  Senopati. Walaupun akhirnya Panembahan Senopati berhasil membunuh Ki Ageng Mangir dengan tipu muslihat, namun sama sekali bukan karena menaklukan tombak pusaka bernama Kiai Baru Klinthing itu.

Keterangan dari tombak dhapur Sipat Kelor

Penulis sendiri mendapat keberuntungan dengan mendapatkan Tombak Pusaka yang tergolong langka karena berdhapur Sipat Kelor. Kebanyakan dhapur tombak Sipat Kelor dibuat khusus sebagai Tombak Pusaka, bukan untuk keperluan perang.

Koleksi tombak Sipat Kelor, dibuat untuk pusaka bukan untuk perang

Beberapa ciri khas tombak dhapur Sipat Kelor adalah mempunyai luk 3 (tiga). Luknya mulai pertengahan bilah, sedangkan bagian pangkalnya lurus. Tombak ini juga tidak memakai bungkul. Walaupun bentuknya sederhana, tombak dhapur Sipat Kelor termasuk langka, jarang dijumpai.

Dipadankan dengan kayu Walikukun sebagai landeyan/gagang tombak

Penulis mendapatkan tombak tersebut dalam kondisi kotor dan tidak terawat. Namun setelah diwarangi tampak berpamor Pedaringan Kebak, artinya tempat beras terisi penuh. Dengan angsar/doa/filosofi kerejekian dan kemakmuran bagi pemiliknya. Dipadankan dengan landeyan/gagang tombak dari kayu Walikukun.

Kondisi saat masih kotor/belum diwarangi (sebelah kanan)

Kayu walikukun banyak ditemukan di hutan berhawa panas dengan sifat ulet dan keras, sehingga cocok digunakan sebagai landeyan/gagang tombak. Pohon Walikukun juga sudah sejak lama digunakan sebagai penawar pekarangan angker dengan cara ditanam di semua sudut pekarangan tersebut.      

Translate »