Keris Langka Dhapur Gumbeng Tangguh Jenggala

Menjelang berakhirnya ibadah puasa di bulan Ramadhan 1444 Hijriyah (tahun 2023 Masehi), saya ingin membabar salah satu keris koleksi pribadi saya sendiri berdhapur Gumbeng dengan tangguh Jenggala.

Keris Langka: Gumbeng tangguh Jenggala

Gumbeng merupakan nama dhapur keris yang mirip dengan dhapur Kebo Lajer namun wilahnya lebih lebar dan ukuran gandhiknya lebih panjang kira-kira berukuran satu setengah kali ukuran gandhik normal. Dhapur Gumbeng tergolong langka, jarang ada dhapur Gumbeng buatan baru. Biasanya merupakan tangguh tua yaitu Pajajaran atau Tuban.

Merupakan keris langka

Sebagaimana pengambilan nama dhapur keris atau pamor keris lain yang terinspirasi dari alam sekitar maupun kehidupan sehari-hari (misalnya nama dhapur keris Jalak, Kebo/Mahesa, pamor Wos Wutah, Ngulit Semongko dll).

Alat musik Gumbeng (source: google.com)

Sebenarnya istilah Gumbeng juga terkait dengan alat musik tradisional yang juga sudah langka keberadaannya, atau minimal sudah jarang dimainkan walaupun di pedesaan sekalipun.

Ciri khas besi tangguh Jenggala: hitam licin seperti aspal

Instrumen Gumbeng terdiri dari seperangkat Angklung yang terbuat dari bambu Wulung, memiliki tangga nada pentatonik yaitu terdiri 5 (lima) nada pokok. Instrumen ini terdiri 15 (lima belas) angklung yang digantungkan di ongkek (tempat penyangga) dan cara memainkannya digoyangkan atau dikocok. Sungguh alat musik yang sederhana karena bahan bakunya juga dibuat dari alam sekitar.

Alat musik Gumbeng: Angklung besar, tengah dan kecil (source: google.com)

Biasanya kesenian Gumbeng ini dilaksanakan pada waktu ritual bersih desa maupun saat akan melakukan panen agar hasilnya baik. Inti dari kesenian Gumbeng ini, manusia diharapkan dapat menjalani kehidupan dengan sederhana, ulet, penuh kearifan baik dalam konteks vertikal (Ketuhanan) maupun horizontal (alam sekitar dan manusia) dalam rangka mencapai kemakmuran masyarakat.

Kesenian Gumbeng biasa tampil saat acara bersih desa dan menjelang panen (source: google.com)

Tidak berbeda dengan alat musik  Gumbeng, ternyata Keris berdhapur Gumbeng juga memiliki bentuk dan ricikan yang sederhana, lugu, dan memiliki muatan sakral dan magis, serta memiliki kaitan dengan keselarasan manusia dengan alam sekitarnya. Filosofi sikap/pola hidup sederhana/lugu ini menurut saya sangat relevan dengan fenomena saat ini dimana banyak orang suka pamer kemewahan dan kekayaan secara mencolok atau biasa disebut flexing.  Filosofi hidup sederhana ini dalam kehidupan sehari-hari tentunya dalam bentuk menerima semua bentuk pemberian dari Tuhan Yang Maha Kuasa dengan penuh rasa syukur, ikhlas dan tawakal, serta tidak lupa apabila mendapatkan kelebihan harta juga selalu digunakan untuk beramal.

Dalam budaya keris, Gumbeng bermakna “tingkat kesadaran tertentu pada saat bersemedi”. Salah satu “semedi” dalam ajaran dan bentuk lain adalah PUASA. Puasa atau Poso (dalam bahasa Jawa), merupakan bentuk penyerapan dari dua kata bahasa Sansekerta yaitu “upa” (dekat) dan “wasa” (berkuasa). Jadi “upawasa” biasa dilafalkan sebagai Poso atau Puasa, yaitu merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bahasa Arabnya adalah “shaum” atau “shiam”. Dalam bahasa Inggris disebut “Fasting”.

Keris Gumbeng ini ditangguh Jenggala (sekitar tahun 1041-1130 Masehi), terlihat dari besinya yang cenderung hitam licin seperti aspal dengan gonjo tinggi/tebal khas tangguh Jenggala.

Bahkan keris ini juga tergolong utuh untuk ukuran keris abad X-XI karena keris rawatan, bukan keris temuan. Secara personal, keris ini merupakan keris Tindih bagi koleksi saya yang lain. Keris Tindih merupakan sebuah keris atau benda pusaka yang lain, dimana selain memberikan tuah juga untuk meredam gangguan atau pengaruh negatif dari benda gaib/pusaka lain. Seperti filosofi Jawa, dimana yang muda selalu memberi hormat kepada yang lebih tua. Secara alami, keris-keris yang lebih muda umurnya akan menghormati keris-keris yang lebih tua umurnya. Itulah tata krama dalam dunia gaib perkerisan.    Melihat estimasi pembuatan keris ini berasal dari Abad X-XI, sejaman Kerajaan Jenggala, diyakini dapat dijadikan keris pusaka Tindih.

Akhir kata, selamat menjalankan ibadah puasa semoga kita kembali menjadi fitri di akhir bulan Ramadhan.   

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »